Nostalgia Mendaki Gunung Ungaran 28KM
Wednesday, November 21, 2012Puncak gunung Ungaran 2050mdpl |
2/11/2012 "aku kudu piye?" waktu tersisa hanya 3 jam sebelum keberangkatan, acaranya memang mendadak, kemudian saya comot apapun yang sempat muncul di ujung neuron tentang perlengkapan mendaki gunung, alhasil tampang lebih mirip tukang kebun daripada pendaki gunung.
Kami sepakat bertemu di Pasar Jimbaran. Pertama adalah Dhave Dhanang, seorang master biologi sekaligus pecinta alam pro untuk kedua kalinya, dan yang kedua adalah Pace Yafeth, mahasiswa peneliti microbiolgi khususnya Alga dari jayapura yang selalu berteriak "KEEEELAAAASS" (baca e=kecap) setiap menemukan pemandangan indah.
Foto by Dhave |
Saya Start dari Pasar sayur Jimbaran setelah adzan magrib. Saya langkahkan kaki di bawah gapura bertuliskan "Sidomukti", telapak kaki saya nampak lebih besar 2 kali lipat dibandingkan saat terakir menginjak tanah suci para pendaki ini 10 tahun yang lalu. Ingin rasaya bernostalgia dengan udara bersih tanpa polusi di kebun teh, gemericik air terjun di hutan pinus, pelukan kabut di lereng gunung, tegur sapa santun pendaki di persimpangan.
"naik gunung akan meninggalkan kenangan lebih dalam bila anda jalan kaki, menikmati tiap jengkal langkah demi langkah hingga ke puncak" ucap Dhave mengawali perjalanan sambil memamah biak kacang kulit oven. Pengalamannya yang sudah mendaki gunung tertinggi di tiap provinsi se-Indonesia, setidaknya mampu memompa semangat saya ketika mulai lutut mulai kelu dan keringat membeku dibalik punggung.
Sepanjang perjalanan menuju pos mawar saya terus membandingan kondisi sekarang dengan kondisi 10 tahun lampau. Banyak yang berubah, terutama akses jalan yang semakin rata dengan betonisasi karena dibukanya wisata pegunungan Sidomukti.
21.40 WIB, Perjalanan terhenti di Pos Mawar, pemandangan dari sini cukup indah, lampu kota yang berderet dari ungaran sampai salatiga terlihat jelas. Namun sayang, langit semakin gelap, kabut muncul dan hujan turun lumayan lebat sampai atap warung yang kami gunakan untuk berteduh bocor merata. Karena hujan tak kunjung reda, sangat beresiko untuk nekat jalan dikondisi tanah basah dan berebut oksigen dengan pepohonan, maka kami putuskan untuk menginap di pos mawar bersama para peserta DIKSAR SMA 1 Salatiga.
Di dalam pos mawar begitu hangat, Dhave larut berbagi canda dan pengalaman diantara peserta diksar, panitia dan para senior yang hadir. "Ente jual, ane beli" atau "gayung bersambut", peserta, panitia dan senior saling bersahutan. Apapun bisa jadi bahan obrolan, ide guyonan yang sepele dan hampir tidak terpikirkan, bahkan pelajaran bangku sekolah tentang konsep bunga, buah dan biji pohon pun bisa menjadi menarik bila sudah di bredel oleh sang master microbiologi.
Jam 3 pagi, ketika embun jatuh membasahi dedaunan, udara dingin klimaks menusuk ke dalam sleeping bag, peserta diksar sudah dibangunkan panitia untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan kami keluar dari pos mawar jam 4 untuk berburu sunrise di ujung hutan pinus. Sangat disayangkan, pagi itu langit kelabu tertutup awan, kabut menutupi kota, cahaya matahari hanya sedikit yang menembus ke daratan.
Untuk menghemat waktu kami lanjutkan pendakian memasuki hutan. Langit sudah terang, jalan setapak terlihat jelas, aroma embun dan dedaunan memberi semangat baru. Betapa beruntungnya kami, kami sempat berpapasan dengan elang botak yang berputar di lereng gunung dan beberapa hewan langka penunggu gunung ungaran yang lain.
Keesokan hariya, kita bikin rusuh di kolam tertinggi di ungaran |
"KEELAAAASSSS" “Sumber air su dekat” entah sudah berapa kali Yafeth mengucap kata tersebut dengan logat khas papua sepanjang perjalanan, seakan-akan baru pertama kali melihat ceceran surga dunia, dan saya juga ikutan latah mengucapkan kalimat itu.
pertigaan peromasan |
Terjadi Perbedaan yang kontras dalam pendakian ini, Dhave memimpin di depan, Yafeth ditengah dan saya di belakang mulai menata nafas yang tercecer. Jelas saja, bagi pendaki pro seperti Dhave, istilahnya dalam satu tarikan nafas satu bukit mampu terlampaui. Nah beda dengan saya, dalam mendaki satu bukit, jatah nafas untuk bukit selanjutnya sudah saya hutang, belum lagi ditambah bunganya megang dengkul, bhahahaha angkat dua jempol dan tas ransel buat dhave.
Jalur pendakian Gunung Ungaran bisa dibilang pendek, namun medannya susah. Kondisinya berbatu, saya harus pintar pintar mencari pijakan, kadang juga harus melompat untuk melewati bebatuan berukuran jumbo. “wunggggg wunggg” Meyeramkan sekali suaranya. Suara tersebuat berasal dari daun pohon pinus yang bentuknya seperti bulu, dimana tiap kali tertiup angin suaranya semakin nyaring menyeramkan.
“puncak su dekat” kata kata magis pemacu semangat dari Yafeth, Kurang seperempat pendakian lagi, namun puncak masih belum terlihat. Kondisi pendakian berubah menjadi padang savana, ilalang dan rumput rumput bergoyang tertiup angin kencang, saya juga sempat ikut bergoyang terbawa terpaan angin, untung tidak nyemplung di jurang, hanya batu saja yang kokoh diam membisu tidak bisa move on #eh.
Batu raksasa itu penipu!!, tiap kali melihat batu raksasa saya langsung terpikir, “puncak pasti ada di balik batu”, namun setelah mengitari batu dengan beringasnya “HAKAMPRETTT, PUNCAKNYA MANAAA?!!”, dan mungkin saya sudah tertipu tiga kali oleh batu besar.
Tugu puncak ungaran 2050mdpl |
puncak tertinggi ungaran, Gunung Sindoro dan Sumbing |
Gunung Telomoyo, Andong, Merbabu dan Gunung Merapi |
Pemandangan Semarang |
Kami dipuncak Gunung Ungaran hanya sekejap, tidak baik juga berlama-lama dipuncak karena matahari sudah tidak bersahabat, Sinar UV mulai menjilat kening dan tengkuk leher. 20 menit kami rasa cukup untuk mengabadikan moment narsis dalam frame foto dan mengganjal perut untuk energi menuruni gunung.
Entah dibilang konyol, stresss atau memang kesetanan, sepertinya kami turun terlalu cepat, para pendaki yang tadinya turun berpapasan dan menyapa kami “semangat mas, bentar lagi nyampe puncak”. baru setengah perjalanan sudah tersusul oleh kami dan bilang "loh kok cepet banget mas?". Total waktu mendaki adalah 60 menit, istirahat 20 menit dan turun 50 menit. Sampai dibawah kami memegangi dengkul masing-masing yang gemetar dan lemas serasa mau copot.
Acara dilanjutkan mampir ke Peromasan, membuat nangis bocah di kebun teh, Menyusuri gunung botak, dan mengikuti DIKSAR sampai minggu sore dengan total jarak perjalanan adalah 28,62KM, mungkin juga lebih karena jejak Endomondo di handphone kehabisan setrum. Begitulah nostalgia Mendaki Gunung Ungaran saya, cukup satu kata “KEEELASSSSSS” dan jangan lupa pakai sunblock.
foto by Dhave dan dokumentasi pribadi
Salam olahraga
@slamsr
16 komentar
Aku wis rak kuat slam nek kon munggah ungaran, balung tuwo...
ReplyDeletenek munggah gunung telomoyo isih kuat [numpak mobil yo] :D
bhahaha kemarin ada kakek kakek umur hampir 50 masih bisa nanjak, belum lagi ada glondongan kayu di punggungnya
Deletewow,,indahhh,,,,,kapan yah bisa jalan2 kaya gituh,...
ReplyDeleteindah sekalli pemandangan'y.. pengen deh kesana apalagi ke puncak'y :)
ReplyDeletemendadak pengen munggah ungaran meneh :|
ReplyDeletesesuk, nek wis mari tak kancani yaa
Deletewah mas dhanang awet muda tenan koq....
ReplyDeleteg maleh blas awit biyennnn....
padahal pas diksar biyen kabeh diseneni tok karo mas siji ki...
diajari nyanyi tik gelitik ...
hahahhahaa....
tambah terus mas koleksi gambarnya....
buat nostalgia...
wahaha bernostalgia juga sepertinya...
Deletesalam kenal mas dari PLGJB
numpang baca mas, kapan-kapan pengen nyoba
ReplyDeletepengen brooooooooo
ReplyDeleteAyo kapan lagi, pengen banget..
ReplyDeleteAyo bro..kapan??
ReplyDeletebhehehe dijadwalkan lagi mas
Deletetrailrun gitu
waah sudah berubah banyak banget yaa dari tahun 1997.. jadi pengen muncak lagi..
ReplyDeletekeren hehe
ReplyDeletejangan lupa perlengkapan mendaki gunung dipersiapkan secara matang :) Selamat Mendaki :D
ReplyDelete